Balongbiru
(Kecamatan Diwek)
Dua saudara seperguruan yang masih terikat hubungan sepupu, yaitu Kebokicak dan Surontanu, menjadi cantrik kinasih atau murid paling disayangi Ki Ageng Sapayana. Dalam hati pemimpin padepokan Pancuran Cukir itu merasa sangat bersyukur kepada Tuhan YME, karena dikaruniai cucu-cucu cantrik yang kesatria, namun rendah hati. Keduanya dikenal memiliki sifat mengayomi terhadap cantrik-cantrik lainnya. Apalagi jika mereka yang berasal dari golongan pihak pejaratan / rakyat jelata. Dan hal itu bagi Ki Ageng Sapayana menjadi nilai lebih, sehingga beliau tidak segan untuk menurunkan seluruh ilmu yang dimiliki kepada Kebokicak dan Surontanu.
Hingga pada suatu hari, betapa masygul hati Ki Ageng Sapayana manakala mengetahui adanya wabah pageblug di wilayah majapahit sebelah barat, khususnya sekitar padepokan Pancuran Cukir. Betapa tidak, wabah penyakit yang tidak dapat disembuhkan itu sungguh tidak mengenal kata ampun dan belas kasihan. Barang siapa tertimpa pageblug, dapat dipastikan terserang pagi, siang tiada. Terkena siang, sore meninggal. Terjangkiti sore, malam menyongsong maut. Begitu seterusnya, sehingga kondisi sebelah barat wilayah kotaraja Majapahit semakin menyiutkan nyali.
Menyikapi ketakutan demi ketakutan warga yang terserang wabah pageblug, mendorong Ki Ageng Sapayana memohon petunjuk Tuhan YME. Beliau bertekad tidak akan mengakhiri tapa-brata sebelum mendapat sisik melik alias petunjuk dari Tuhan YME. Munajat beliau ini dilakukan pada sebuah ruangan khusus untuk semedi di lingkungan padepokan Pancuran Cukir. Proses “Pengasingan diri” itu betul betul dilakukan Ki Ageng Sapayana dengan penuh keseriusan. Apalagi menghadapi wabah pageblug yang belum ada obatnya.
Berkat ketekunan upaya Ki Ageng Sapayana, pada suatu malam beliau mendapatkan wangsit/ petunjuk gaib dari Tuhan YME, bahwa wabah pageblug itu hanya dapat dilawan dengan perantaraan hewan banteng tracak kencana milik Surontanu cantriknya. Hewan yang dapat bicara layaknya manusia itu harus disembelih, karena dalam pandangan mata batin Ki Ageng Sapayana, banteng itu telah disusupi dua siluman buaya.
Surontanu yang merasa tersudut atas keputusan sang maha Guru itu segera mengambil Langkah seribu. Ia pun melarikan diri ke utara dari kejaran kakak seperguruannya Kebokicak. Ketika kelelahan Surontanu menemukan sebuah kolam air/ balong yang airnya berwarna biru. Surontanu pun berkata kepada banteng tracak kencana, “Wahai sahabatku Banteng Tracak Kencana di depan kita ada kolam air yang sangat jernih, sehingga airnya seperti berwarna biru. Maka jadilah kamu saksi, kelak tempat ini aku namakan Balongbiru. Karena terdapat kolam air yang berwarna biru.”
(Bahan bacaan “KEBO KICAK KARANG KEJAMBON” karya Ifa Yuliana, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastera Indonesia STKIP PGRI Jombang, Angkatan 2003).